"Kalau tulangnya digiling sendiri ada alatnya. Seperti penggilingan kopi," jelasnya. Tapi bagi kalangan agama Hindu, mereka sering request tulang tak perlu dihancurkan.
Saat sudah menjadi abu tadi, Martono bahkan bisa membedakan, mana abu dari jenazah, dan mana abu dari berbagai perkakas yang melingkupinya seperti peti, bunga-bunga dan perlengkapan mendiang yang ikut dibakar.
Kemudian saat sudah tersortir, abu jenazah dimasukan di sebuah kendil atau tempat penampungan. Dari krematorium sudah menyediakan namun apabila dari keluarga bawa sendiri, tidak dipermasalahkan.
"Abu biasanya dibawa pulang atau dilarung," ucapnya.
Selain kremasi jenazah, Krematorium Kedungmundu tidak juga menerima kremasi hewan.
Untuk lokasi kremasi hewan ini berada di area bawah krematoriun. Ada dua tungku di sana.
Salah satu alasan kenapa Martono awet bekerja di krematorium karena dia bermental baja. Dari keterangannya, banyak petugas kremasi yang pilih 'balik kanan' atau resign karena takut.
Menurut Martono, pekerjaan ini tidak ada seram-seramnya, toh menurutnya, yang dibakar itu adalah seonggok bekas tubuh seseorang yang sudah tak bernyawa.
"Tetapi orang mungkin berbeda-beda. Jadi pikiran lalu takut sendiri. Akhirnya nggak mampu," tambahnya.
Sepanjang bekerja sebagai petugas kremasi, masa yang paling Martono ingat bukanlah saat awal-awal dia bekerja, tetapi saat pandemi Covid-19.
Di masa-masa itu, kerjanya lebih nonstop karena jenazah tak berhenti datang. Bahkan dia sering tidak pulang.
"Jenazah terus berdatangan. Pelayanan jadi 24 jam," sambungnya.
Namun bayangan kesedihan seringkali menyergap dirinya. Beberapa keluarga yang belum rela ditinggalkan datang dengan tangisan yang meraung-raung.
Martono bukanlah keluarga, namun segala tangisan itu ikut menyayat-nyayat hatinya. Satu yang bikin makin sedih adalah ketika keluarga memencet tombol kremasi.