Perubahan Iklim Terjadi secara Masif Memicu Potensi Bencana, ZCRA Minta Jateng Perkuat Pola Penanganan

photo author
- Kamis, 11 Desember 2025 | 16:50 WIB
Kick Off Meeting Kajian Risiko dan Dampak Perubahan Iklim di Semarang. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)
Kick Off Meeting Kajian Risiko dan Dampak Perubahan Iklim di Semarang. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

SEMARANG, AYOSEMARANG.COM — Rentetan bencana alam yang terjadi di berbagai daerah, termasuk banjir besar di Sumatra, dinilai menjadi sinyal kuat bahwa dampak perubahan iklim semakin sulit diprediksi.

Hal itu disampaikan Project Coordinator Zurich Climate Resilience Alliance (ZCRA), Arief Ganda Purnama, dalam Kick Off Meeting Kajian Risiko dan Dampak Perubahan Iklim di Semarang, Kamis 11 Desember 2025.

Arief menyebut pola cuaca ekstrem saat ini sudah tidak lagi mengikuti siklus yang selama ini dikenal masyarakat.

“Kita sedang berada di era perubahan iklim yang sangat masif. Dulu kita mengenal La Nina dan El Nino, tapi sekarang polanya sudah tidak jelas. Dua siklus La Nina terakhir juga terjadi cukup parah dan memicu terbentuknya banyak siklon,” ujarnya.

Menurutnya, curah hujan ekstrem sebenarnya dapat diminimalkan dampaknya apabila pengelolaan lahan, hutan bagian hulu, hingga infrastruktur pesisir dikelola dengan baik.

Baca Juga: UMK Hanya Rp2,6 Juta, Kota Pelajar Ini Justru Punya Biaya Hidup Tertinggi Kedua

Namun ia menilai sejumlah proyek pembangunan di Indonesia masih belum memasukkan aspek perubahan iklim ke dalam perencanaan.

“Beberapa infrastruktur kita belum mempertimbangkan perubahan iklim. Begitu juga kondisi lahannya. Karena itu, kita seperti kecolongan,” jelasnya.

Arief menyebut Jawa Tengah termasuk wilayah yang kini menunjukkan dampak signifikan dari perubahan iklim. Sejumlah kawasan pesisir seperti Pemalang–Ulujami, Pekalongan, Kendal, hingga Demak berpotensi mengalami genangan permanen.

“Dulu hanya banjir rob, tapi ke depan kawasan itu bisa tergenang secara permanen dengan ketinggian genangan yang semakin besar. Wilayah-wilayah ini harus sangat hati-hati dalam pengelolaannya,” tegasnya.

Ia juga mendorong penguatan koordinasi lintas wilayah, terutama dari hulu hingga hilir, untuk mencegah bencana besar seperti yang terjadi di Sumatra. Menurutnya, pola penanganan bencana selama ini masih reaktif, padahal diperlukan basis data yang kuat untuk memprediksi tingkat keparahan banjir dan menyiapkan langkah antisipatif.

“Selama ini kita memperlakukan banjir sebagai siklus tahunan. Begitu musimnya tiba baru kita diskusi. Seharusnya kita punya data memadai, sehingga masyarakat bisa dipindahkan dari area berbahaya, logistik disiapkan, dan informasi mitigasi berjalan,” katanya.

Baca Juga: Terbanyak di Indonesia, Gubernur Ahmad Luthfi Serahkan SK Kepada 13 Ribu Orang PPPK Paruh Waktu

Arief turut menyoroti lemahnya implementasi tata ruang dan praktik alih fungsi lahan yang kerap menjadi pemicu kerentanan bencana. Ia menekankan perlunya penegakan hukum yang kuat agar pembangunan tidak melanggar ketentuan lingkungan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Regi Yanuar Widhia Dinnata

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X