semarang-raya

(SEMARANGAN) Sejarah Pecinan Semarang Part 2: Bangunan Khas dan Arti Kelenteng bagi Masyarakat Tionghoa

Selasa, 11 Januari 2022 | 21:14 WIB
Klenteng Tay Kak Sie di Pecinan Semarang. Klenteng bagi masyarakat Tionghoa tempo dulu tidak hanya sekadar tempat ibadah. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

Namun hartawan Tionghoa tidak memperhatikan hal itu.

Baca Juga: PREVIEW Persiraja vs PSIS Semarang, Yoyok Sukawi: Hukumnya Wajib Menang!

Pasalnya menurut mereka, tidak masalah rumah mahal asal bisa dipakai sampai anak, cucu, buyut dan cicit.

Namun penulis buku Da-Der-Dor Pecinan Semarang yakni Tubagus Svarajati mengungkapkan jika semua kekhasan itu sudah sirna.

Saat ini, rumah-rumah khas itu sedikit banyak sudah lenyap karena kebijakan diskriminisasi sekitar tahun 1970-an.

"Jalan-jalan utama dilebarkan dan fasad rumah-rumah dikepras. Alhasil arsitektur Cina tinggal kenangan," ucapnya. "Sekarangf yang tersisa hanya atap wuwungan bundar tumpul. Itu satu-satunya penanda kawasan berasitektur kecinaan," lanjut Tubagus.

Selain bangunan, satu yang mencolok di Pecinan Semarang adalah kelentengnya.

Saat ini di Pecinan Semarang ada 9 kelenteng, antara lain seperti Kelenteng Siu Hok Bio, Kelenteng Tek Hay Bio/Kwee Lak Kwa, Kelenteng Tay Kak Sie, Kelenteng Kong Tik Soe, Kelenteng Hoo Hok Bio.

Baca Juga: CARA Download Lagu di MP3 Juice, Lagu Video YouTube Jadi MP3 Tanpa Aplikasi

Lalu Kelenteng Tong Pek Bio, Kelenteng Wie Hwie, Kelenteng Ling Hok Bio, dan Kelenteng See Hoo Kiong/Ma Tjouw Kiong.

Amen Budiman masih dalam catatanya tadi, kelenteng bagi orang Tionghoa tidak hanya sekadar rumah ibadah, namun juga punya arti sosial dan ekonomi.

Salah satunya sebagai tempat penginapan bagi pedagang dari luar kota yang sedang berniaga di Kota Semarang

Pada masa itu, biasanya pedagang yang datang ke Kota Semarang langsung mendatangi kelenteng, mereka tidak hanya beribadah, tetapi juga untuk beristirahat selama melakukan perniagaannya.

"Untuk itu dulu di kelenteng banyak tikar dan bantal sebagai persediaan untuk keperluan para pedagang," tulis Amen.

Mereka juga tidak suka tidur di dipan atau balal-balal. Mereka lebih suka menggelar tikar karna mereka anggap sebagai laku prihatin.

Halaman:

Tags

Terkini