SEMARANGTENGAH, AYOSEMARANG.COM - Kota Semarang punya satu distrik yang sering disebut dengan Pecinan Semarang.
Di kawasan pecinan ini berdiam satu kelompok masyarakat Tionghoa. Di Pecinan Semarang mereka tidak hanya bertempat tinggal tetapi juga memiliki lapangan kerja dan beribadah.
Konsep kawasan Pecinan Semarang ini sebetulnya tidak hanya di Semarang akan tetapi juga di kota-kota lainnya.
Berkumpulnya satu ras masyarakat Tionghoa ini mungkin orang pikir karena solidaritas satu golongan.
Baca Juga: Ini Daftar 3 Kiper Keturunan yang Main di Luar Negeri, Siap Dinaturalisasi PSSI?
Anggapan itu memang tidak salah, namun alasan yang lebih tepat yakni karena adanya aturan Wijkenstelsel yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda di masa itu.
Penulis sejarah Kota Semarang yakni Amen Budiman berkata jika aturan itu mengharuskan orang-orang Tionghoa menempati satu lokasi dan tidak boleh keluar-keluar.
Aturan itu tercipta di Batavia ketika VOC sedang banyak berkonflik dengan masyarakat Tionghoa.
Menutip dari Tirto, aturan ini muncul karena kala itu etnis Tionghoa dibantai oleh kompeni di Batavia karena pemberontakan.
Pemberontakan terjadi tentu saja karena adanya persaingan ekonomi dan perdagangan.
Ditambah saat itu, ketika VOC masuk, mereka membuat kebijakan agar warga Eropa tinggal di satu lingkungan.
Baca Juga: Riko Simanjuntak Salah Pakai Jersey saat Lawan Persipura, Persija Terancam Denda dari Komdis
“Akibat dari huru-hara Cina bulan Oktober 1740, maka pada tanggal 11 November 1740 Gubernur Jenderal A. Valckenier mengeluarkan perintah agar semua warga Cina harus tinggal di luar tembok kota, yaitu di kawasan Glodok sekarang,” tulis sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia.
Pasca disampaikannya kebijakan itu, lokalisasi etnis Tionghoa menjalar di kota-kota lain termasuk Semarang.