PEKALONGAN, AYOSEMARANG.COM -- Pekalongan memang terkenal dengan kota batik. Selain menjadi identitas, karena warga lokalnya banyak yang memproduksi batik dengan cara tradisional maupun modern.
Bahkan, batik-batik karya tangan kreatif warga Pekalongan ini menjadi ikon nusantara
Namun di tengah gempuran zaman tidak sedikit pengusaha batik di Pekalongan mengalami kebangkrutan.
Hal itu juga dialami Mustar Sidiq, seorang pengusaha batik tulis yang memiliki bengkel batik Alvien Alfan di Jalan Ahmad Dahlan, Tirto, Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.
Baca Juga: Ribuan Warga Berebut Lopis Raksasa Krapyak, Ini Filosofi Perayaan Syawalan di Pekalongan
Berawal dari mengikuti sang ayah berdagang batik lawasan (bekas) pada 1970-an, ia pun ikut menekuni bakat batik dari sang ayah berjualan batik lawasan (bekas).
Setelah batik lawasan mulai tidak lagi ditemui, Mustar Sidiq pun memproduksi batik tulis yang sangat memegang erat pakem.
"Pengetahuan saya tentang batik karena sering ikut ayah jual batik lawasan. Dari situ, saya mulai paham pakem-pakem batik," katanya di bengkel batiknya, Sabtu 14 Mei 2024.
Ayah tiga anak itu tidak serta merta menjadi pengusaha batik. Bahkan, sempat pada satu momen, ia merasa berdosa karena berdagang batik.
Mustar bercerita mulai bersinggungan dengan dunia batik pada 1997. Ia waktu itu menjelajahi bisni garmen dengan menerima pesanan jahitan.
Lalu, 1997- 1999, Sidiq berjualan daster hingga 2003. Lalu, pada 2004, dosanya pada warisan budaya itu terjadi. Waktu itu, ia berjualan batik lawasan, seperti ayahnya, dan menjualnya ke luar negeri.
Baca Juga: Wali Kota Pekalongan Akui Belum Siap Gelar Festival Balloon Atraction 2022, Warga Kecewa
"Waktu itu banyak permintaan dari Australia, Malaysia, Singapura. Sampai instruksi SBY, pada 2006 tiap daerah harus punya motif batik. Batik mulai booming, tapi saya tetap jualan batik lawas," jelasnya.
Omzet penjualannya setelah batik diberi gelar warisan budaya tak benda pada 2009, pun meroket. Pada 2010-2011, omzetnya per malam mencapai Rp 30 juta.