netizen

Ancaman Radikalisme Siber: Sampai Kapan?

Senin, 21 Agustus 2023 | 17:17 WIB
Aksi unjuk rasa tolak radikalisme. (Ilustrasi)

AYOSEMARANG.COM - Beberapa hari yang lalu, Densus 88 Antiteror menangkap DE, terduga teroris yang belakangan merupakan karyawan PT KAI. Dalam penangkaan tersebut, Polisi menemukan 16 pucuk senjata api berserta amunisinya dan bendera ISIS. Penangkapan ini cukup mengejutkan karena PT KAI sendiri telah bekerja sama dengan BNPT untuk mencegah radikalisme dalam perekrutan tenaga kerja BUMN. Meskipun DE telah berbaiat ke ISIS sebelum bergabung ke PT KAI, namun penangkapan ini dinilai merupakan sebuah “kecolongan” di perusahaan berplat merah tersebut.


Satu hal yang menarik ialah ternyata DE sangat aktif mempublikasikan seruan jihad melalui media sosial facebook, dan melakukan penggalangan dana melalui aplikasi telegram. Buntut dari penangkapan ini, Polisi mengamankan AR di Semarang, yang membantu DE dalam memodifikasi senjata api. Ada juga penangkapan R alias B yang diduga melakukan pemasokan senjata FNC dan pistol pendek combat C2 Pindad milik DE. Terupdate, ada tiga oknum Polisi juga ditangkap terkait DE yaitu RP, SM, dan MYS. Celakanya, salah satu dari ketiga Polisi itu adalah Kanit Reskrim Polsek Bekasi Utara. Penangkapan-penagkapan ini semakin menunjukkan bahwa ancaman cyber terorism itu sangat nyata!

Konten Radikal

Jika dilihat ke belakang, pada 2019 terdapat sedikitnya 7000 akun yang memproduksi konten berbau SARA melalui akun media sosial. Berkaitan dengan SARA, terdapat konten hoax yang ditemukan oleh Kominfo. Tim AIS Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo menemukan 11.642 konten hoax dari Agustus 2018-Mei 2023. Tim AIS ini melakukan pengaisan, identifikasi, verifikasi, dan validasi terhadap seluruh konten internet yang beredar di cyber space Indonesia, baik konten hoaks, terorisme dan radikalisme, pornografi, perjudian, maupun konten negatif lainnya. Dekat dengan konten SARA ialah konten radikal. Dari tahun 2017 sampai 2019, Kominfo menangani 13.032 konten bermuatan radikal. Selain itu, BNPT sendiri menemukan ada kurang lebih 600 akun media sosial yang memuat unsur radikalisme selama 2022, di mana facebook menjadi media sosial terbanyak yang memuat unsur radikalisme. Persoalannya ialah bagaimana memahami dan melakukan seleksi terhadap konten radikal?


Menurut KBBI, kata “radikal” digunakan dalam bidang politik, secara karakteristik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan). Sementara radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Titik pokoknya adalah cara kekerasan dan drastis. Dengan pengertian ini, konten radikal sejatinya dapat diidentifikasi. Cara kekerasan dan drastis tidak menuntut pemenuhan materil yaitu kerusuhan atau kudeta, melainkan berupa seruan ajakan melakukan kekerasan terhadap sistem politik (baca: kenegaraan) melalui media sosial pun sudah dapat dikategorikan radikal. Pemahaman terhadap konten radikal di media sosial pertama-tama harus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Indonesia (Dirjen Aptika).


Menangani Konten Radikal: Sampai Kapan?


Minimal ada dua hal yang harus diperkuat dalam penanganan konten radikal yang berujung terorisme, yaitu cyber strategy (strategi siber) dan law enforcement (penegakan hukum). Dalam beberapa penelitian hukum (Ihsanul Religy Utami & Gonda Yumitro, 2023) disebutkan bahwa untuk mengatasi munculnya konten radikal dibutuhkan beberapa hal yaitu pertama cyber security sebagai kebijakan, di mana pemerintah diminta membuat kebijakan untuk menghadapi konten radikal. Secara regulasi, kita sudah memiliki UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, juga ada UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Akan tetepai efektivitas impelmentasinya diragukan manakal konsep radikalisme itu sendiri tidak dapat dimengerti secara utuh.
Kedua, cyber security sebagai alat untuk mengatasi serangan siber konten negatif, melalui teknologi aplikasi Nawala. Ketiga, cyber security sebagai shock therapy melalui pemblokiran dan filterisasi konten yang memberikan efek shock therapy. Memblokir situs web radikal dengan cara memblokir akses ke situs web adalah alternatif untuk membatasi akses ke situs jejaring sosial yang mempromosikan radikalisme. Keempat, cyber security sebagai penyelesaian sengketa.

Meskipun demikian, apakah hal tersebut efektif? Menurut saya, kebijakan tersebut bersifat parsial dan hanya bergerak di wilayah pasca postingan radikal. Yang lebih utama ialah pencegahan di wilayah literasi bermedia sosial. Hal ini berarti bahwa setiap lembaga tidak boleh berdiri sendiri dalam penanganan radikalisme di media sosial. Teknologi tidak mungkin dihentikan; yang bisa dilakukan adalah bekerja sama membentuk kepandaian bermedia sosial.

Berharap pada Virtual Police?
Jika diperhatikan, gelora jihad melalui facebook telah berjejaring dengan sangat cepat sebagaimana karakter velocity menjadi roh dari media sosial. Karakter ini seharusnya menjadi perhatian utama Polri. Bagaimana pun juga, setiap postingan publik melalui media sosial pada saat yang sama dapat didistribusikan dan ditransmisikan dengan tanpa batas. Efek yang ditimbulkan pun secara langsung dapat meluas. Dengan literasi digital yang minim, publik dapat terinsinuasi dan terprovokasi untuk menjadi bagian dari ISIS dan/atau organisasi teroris lainnya.

 

Oleh karena itu, ditangkapnya para terduga teroris yang ramai menggelorakan jihad melalui media sosial, seharusnya menjadi evaluasi internal bagi Polri khususnya Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber). Dittipidsiber merupakan satuan kerja yang berada di bawah Bareskrim Polri dan bertugas untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber yang menangani computer crime misalnya peretasan sistem elektronik (hacking), intersepsi ilegal (illegal interception), pengubahan tampilan situs web (web defacement), gangguan sistem (system interference), manipulasi data (data manipulation); dan computer-related crime misalnya pornografi dalam jaringan (online pornography), perjudian dalam jaringan (online gamble), pencemaran nama baik (online defamation), pemerasan dalam jaringan (online extortion), penipuan dalam jaringan (online fraud), ujaran kebencian (hate speech), pengancaman dalam jaringan (online threat), akses ilegal (illegal access), pencurian data (data theft). Salah satu bagian dari Dittipidsiber adalah Virtual Police. Virtual Police ini melakukan peringatan (PVP) pada konten-konten berisi ujaran kebencian berdasarkan SARA yang berpotensi melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Selama bulan Agustus 2023, ada 174 konten yang diajukan PVP, 105 lolos verifikasi, 51 tidak lolos verifikasi, dan 18 dalam proses verifikasi.


Dalam pandangan saya, apa yang dilakukan Virtual Police juga bergerak di wilayah pasca postingan. Mengejar apa yang sudah terjadi (pasca postingan) justru membutuhkan energi dan dana yang jauh lebih besar. Ancaman radikalisme melalui media sosial tidak pernah akan selesai jika yang ditangani hanya parsial per lembaga dan dilakukan pasca postingan secara represif; yang lebih parah jika menunggu laporan atau aduan dari masyarakat. Tindakan pemblokiran dan take down akun/situs juga tidak akan menyelesaikan masalah karena akun/situs dapat direformulasi kembali, apalagi yang memakai fake name.

Dengan kata lain pengawasan dan penindakan harus diawali oleh kerja sama antarlembaga dalam hal membangun literasi digital kepada publik. Tindakan represif hanya melahirkan perlawanan baru karena pada dasarnya di mana ada regulasi, di situ ada resistensi. Oleh karena itu patroli siber, tidak sekadar memeriksa akun/konten radikal, melainkan juga memberikan pembelajaran etis mengenai cara-cara bermedia sosial yang baik dan benar. ***

 

Halaman:

Tags

Terkini

Perlukah Outsourcing Dihapus?

Kamis, 8 Mei 2025 | 11:28 WIB