Pemilik Frequensi dan Pelengkap Penderita

- Sabtu, 30 Juli 2022 | 14:38 WIB
Gunawan Witjaksana, Dosen Ilmu Komunikasi USM dan UDINUS Semarang. (dok)
Gunawan Witjaksana, Dosen Ilmu Komunikasi USM dan UDINUS Semarang. (dok)

Sepesat apa pun perkembangan media baru, namun tetap saja televisi merupakan media konvensional yang masih sangat populer. Salah satu indikatornya adalah masih banyak yang beriklan, bahkan blocking Times dilakukan oleh lembaga- lembaga bisnis yang berbasis internet.

Sayangnya, karena persaingannya yang makin ketat, mereka menjadi abai terhadap sang pemilik Frequensi yang selama ini dipinjamnya yaitu masyarakat yang sekaligus berposisi sebagai penikmat atau penonton.
Prinsip politik ekonomi medialah yang mereka tekankan, selain berebut kue iklan, perolehan iklan sebanyak- banyaknya pun menjadi prioritas.

Salah satu tayangan yang menghasilkan iklan karena ratingnya tinggi, adalah sinetron. Sayangnya, tayangan yang idealnya bersimbiosis mutualistik dengan penonton itu justru cenderung menjadikan penonton sebagai pelengkap penderita.

Baca Juga: Tak Ada Bubur Suro, Coba Makan di 6 Tempat Bubur Ayam Enak, Murah, Bergizi di Semarang Ini, Yakin Nagih!

Sebagai indikator yang jelas adalah tidak imbangnya Frequensi setiap scheen tayangan dengan frequensi iklannya. Observasi yang penulis lakukan perbandingannya rata- rata 4: 7. Artinya empat menit tayangan sinetron, frequensi iklannya adalah tujuh menit.
Belum lagi iklan bemper yang tiba- tiba nyelonong sebelum adegan selesai, bahkan sering dengan adegan yang tidak nyambung.

Penonton pun tidak mampu berbuat banyak, terlebih ketika pindah Chanel pun hal serupa juga mereka jumpai.

Ikut vs Menciptakan Pasar
Rata- rata pengelola Televisi cenderung cari mudahnya meniru tayangan televisi lain yang populer. Padahal sebenarnya membentuk pasar baru dengan tayangan bermanfaat pun bisa mereka lakukan.

Kita ingat bagaimana dulu rendahnya rating Kick Andy, Mata Najwa, Hitam Putih, dan sejenisnya. Namun pada akhirnya ratingnya menjadi maksimal.
Karena itu, sembari saling meniru, stasiun televisi perlu berupaya memerhatikan kepentingan masyarakat, sehingga idealnya akan terjadi simbiosis mutualisme.
Meraup kue iklan itu penting, karena itu merupakan sumber hidup sekaligus pengembangan lembaganya.

Namun, melayani masyarakat sebagai penonton adalah penting, agar mereka tetap senang hati menontonya.

Kejar Tayang dan Mutu

Karena itu, prinsip kejar tayang perlu diimbangi dengan kejar mutu. Menyajikan tayangan yang menarik, namun bermanfaat bagi penonton, tentu bukan hanya tugas televisi publik semata.
Televisi swasta pun perlu juga melakukannya. Cara yang paling mudah adalah menyeimbangkan Frequensi tayangannya populernya dengan iklan sebagai partnernya.

Baca Juga: Transformasi Penampilan Kurma ABG Citayam, Warganet: Amanda Manopo atau Marion Jola?

Setelah berhasil, barulah menyajikan tayangan yang unik, menarik dan bermanfaat. Mungkin terkait hal ini ratingnya bisa saja rendah dahulu . Namun, dengan menyajikan trailer yang konstan dan terus menerus, niscaya penonton akan menggemarinya.


Intinya, janganlah televisi sampai ditinggalkan penontonnya yang kecewa karena merasa hanya dijadikan lahan eksploitasi semata.
Dengan demikian model simbiosis mutualistislah pilihannya. Wujudnya tetap menyajikan tayangan yang menarik, namun bermanfaat bagi penontonnya.***

Halaman:

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Stop Wabah, Jangan Nyampah

Kamis, 16 Februari 2023 | 17:29 WIB

Penjelasan Tentang Aneurisma Abdomen Aorta

Rabu, 1 Februari 2023 | 17:56 WIB

Pernah Pernik di Balik Kegiatan Kampanye

Rabu, 21 Desember 2022 | 10:43 WIB

Lomba Justifikasi

Kamis, 15 September 2022 | 07:46 WIB

Pemilik Frequensi dan Pelengkap Penderita

Sabtu, 30 Juli 2022 | 14:38 WIB

Di Balik Ego dan Kolektivitas Etnis

Kamis, 7 Juli 2022 | 11:08 WIB

Mudik, Thomas Cup, dan Sea Games

Senin, 16 Mei 2022 | 19:23 WIB
X