Kedua sisi pabrik, yang dijelaskan Basuki tadi punya jenis alat yang berbeda. Untuk alat-alat yang lebih tua masih menggunakan bahan kayu bakar. Kemudian yang lebih modern sudah menggunakan gas.
Di sela-sela mesin terdapat sepeda kuno yang disandarkan ke dinding. Selain kuno, sepeda tha itu memiliki dua tabung kaleng di bagian depan. Kata Basuki, tabung itu dulu untuk menampung kopi.
“Gunanya untuk mengantar kopi ke pemesan. Dulu ada banyak. Tapi nggak tahu ke mana, dijual mungkin. Untung masih saya pertahankan satu,” ujarnya sambil tersenyum.
Menurut Basuki, Margo Redjo mengalami era kejayaan sekitar tahun 1930. Kala itu bahkan, Margo Redjo bisa mengekspor ke luar negeri sampai menjadikan Tan Tiong Ie sebagai orang Tionghoa kaya di Jawa.
Pabrik kopi Margo Redjo terakhir beroperasi sekitar 1985. Itupun tidak maksimal karena bisnis kopi Margo Redjo sudah mengalami kemunduran.
Beberapa sebab kemunduran Margo Redjo, antara lain kondisi ekonomi dan politik negara serta perubahan kebiasaan minum kopi di masyarakat.
“Sekarang kan orang makin paham. Kebanyakan nggak membeli dalam bentuk bubuk tapi biji,” katanya.
Itulah mengapa, pabrik tidak lagi digunakan. Energi produksi tetap banyak, tapi permintaan sedikit, sehingga dinilai tidak imbang.
Hampir setiap waktu banyak tamu, pelanggan dan siapapun yang datang sudah Basuki ajak untuk menengok pabrik tuanya itu.
Meski saat ini belum layak disebut museum, tapi setidaknya ada rupa-rupa mesin tua peninggalan lama yang bisa jadi pengetahuan baru bagi orang-orang tentang berharganya sebuah warisan dari brand legendari kopi Margo Redjo.
"Saya selalu ajak ngobrol siapapun. Saya ingin orang pulang dari sini tidak hanya minum kopi saja, tetapi juga dapat sesuatu yang berharga dan pengetahuan baru," pungkasnya.