"Dulu ada beberapa peninggalan misal batu gambar keris dan lainnya. Saya tidak begitu tahu karena saya Takmir generasi keempat dan sekarang barangnya tidak ada," pungkas Sumarno.
Kemudian cerita lain yang berkembang, konon masjid tersebut digunakan Pangeran Diponegoro tahun 1800-an untuk bersembunyi dan mengaji dengan kyai-kyai di masjid itu. Oleh sebab itu dinamakan Masjid An Nur Diponegoro.
Bangunan tersebut sebenarnya sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, namun menurut Sumarno, pemerintahan kurang memberi perhatian sehingga warga melakukan pemugaran sendiri.
"Jamaahnya semakin banyak, tapi Pemkot tidak bertindak, jadi kami bangun," katanya.
Sampai saat ini bangunan masjid sudah dipugar hingga luasnya memanfaatkan seluruh luas tanah yaitu 25x10 meter. Sementara itu pembangunan lantai dua sampai saat ini masih belum rampung.
Satu-satunya bagian yang masih utuh dari bangunan asli masjid yaitu atapnya. Meski ditinggikan dan diluaskan bangunannya, atap kayu tersebut tetap dijaga dan ikut ditinggikan.
"Yang tersisa atapnya termasuk bagian kayu penyangganya. Ukuran atap itu kemungkinan sama dengan luas bangunan asli," terang kakek dua cucu itu.
Kini masjid tersebut masih sering dimanfatkan terlebih lagi saat salat Tarawih. Namun jumlah muslim Tionghoa yang ikut beribadah sudah sangat jarang karena banyak yang sudah pindah tempat tinggal.
"Dulu banyak warga Tionghoa muslim yang salat di sini, tapi sekarang tinggal satu atau dua orang," sambungnya.
Terakhir Sumarno menuturkan, meski masjid ini berada di tengah Pecinan Semarang, namun warga sekitar terbuka dan tidak pernah melakukan intervensi apapun.
"Warga di sini sangat toleransi, kok," tutup Sumarno.