Tradisi Kupat Jembut Semarang: Tradisi Syawalan yang Dipertahankan dan Terus Diulang

photo author
- Rabu, 17 April 2024 | 12:16 WIB
Pembagian Kupat Jembut Semarang di Kampung Jaten Cilik, Pedurungan. Tradisi Syawalan ini terus dijaga tiap tahun.  (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)
Pembagian Kupat Jembut Semarang di Kampung Jaten Cilik, Pedurungan. Tradisi Syawalan ini terus dijaga tiap tahun. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

SEMARANG, AYOSEMARANG.COM -- Usai gejolak negara yang tak menentu, orang-orang Pedurungan Semarang lari ke arah timur di sekitar Mranggen atau Demak.

Tujuan pelarian itu adalah untuk mengungsi. Sebab bagi masyarakat Pedurungan Semarang di wilayah Mranggen tadi dinilai cukup aman dari berbagai ancaman pasca perang dunia kedua medio 1950-an.

Setelah keadaan dirasa aman, mereka pulang ke rumah mereka di Pedurungan Semarang. Namun waktu itu, kondisi juga masih serba sulit meskipun habis bulan puasa. Tidak banyak yang bisa disajikan kecuali beberapa beras dan sayuran.

Lalu sebuah ide cemerlang muncul. Sebagai siasat di tengah kondisi terbatas, mereka memasak sedikit bahan tadi menjadi sajian praktis berupa kupat berisi sayuran tauge atau kelak disebut "Kupat Jembut".

Baca Juga: Syawalan di Pekalongan Ada Lopis Raksasa dan Balloon Festival, Dishub Lakukan Rekayasa Lalu Lintas

Begitulah kisah dari Munawir, imam di Masjid Rudlotul Muttaqin, Kampung Jaten Cilik. Kisah tentang para sesepuh menciptakan Kupat Jembut tadi selalu dia ceritakan tiap tahun, mirip dongeng yang selalu diceritakan seorang kakek kepada cucunya.

Bermula dari kisah itu, kupat jembut lalu menjadi tradisi di Pedurungan Semarang khususnya di Kampung Jateng Cilik.

Sebagaimana penyebutannya, kupat jembut tak lain digelar untuk memperingati Syawalan.

"Prosesi ini digelar seminggu pasca lebaran," ungkapnya saat ditemui Rabu 17 April 2024.

Sebelum bercerita lagi soal Kupat Jembut, Munawir sebelumnya mengimami sholat subuh. Pagi itu subuh di masjid Rudlotul Muttaqin cukup riuh celoteh anak-anak. Dada mereka mungkin gusar, karena setelah tahiyat akhir mereka sudah siap bergegas untuk menyemarakan tradisi tahunan Kupat Jembut.

Baca Juga: Gunungan Hasil Bumi Jadi Rebutan Warga di Tradisi Syawalan dan Merti Desa Boja

Lalu demikianlah, setelah sholat selesai, anak-anak sudah menunggu di luar dengan plastik atau apapun yang bisa untuk menampung barang.

Munawir meminta anak-anak berbaris. Dibantu takmir masjid, dia sudah membawa nampan berisi puluhan kupat jembut dan lembaran uang dengan nominal Rp 5 ribu dan Rp 2 ribu namun jumlahnya banyak.

"Antri ya. Tertib. Semua akan dapat," tambahnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: adib auliawan herlambang

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X