Namun usai kunjungan itu sampai perataan bangunan, pihak Untag belum menanggapi lebih lanjut.
“Pemkot dalam hal ini Distaru sudah mencoba berkomunikasi dengan pihak Untag atau tim ahli arsitektur Untag, tapi belum ada tindak lanjut,” katanya.
Baca Juga: Dibangun Ulang, Gedung Eks Pembacaan Proklamasi di Semarang Diratakan
Oleh karena Hariyadi menyampaikan kepada Untah untuk aktif mengomunikasikan apakah benar bangunan itu memiliki potensi kesejarahan.
Mengingat proses renovasi saat ini secara tidak langsung sudah menghilangkan jejak-jejak sejarahnya.
Apabila nantinya benar ditemukan fakta bahwa bangunan itu memenuhi syarat sebagai cagar budaya, Haryadi tak menutup kemungkinan untuk merevitalisasi eks Gedung Djawa Hokokai itu.
“Kalau sudah terlanjur roboh, bisa direvitalisasi lagi dengan mendatangkan tim ahli arsitektur dan banguanan gedung, paling tidak mendekati keasliannya. Seperti contoh Menara Syahbandar di Kampung Sleko itu sempat roboh lalu kembali kami bangun,” tandas Haryadi.
Sebelumnya, Pemerhati Sejarah Semarang Johanes Christiono mengungkapkan bangunan itu dulu diarsiteki oleh Ir Thomas Karsten dan pernah menjadi toko mebel Van de Pol.
Baca Juga: Lima Warnet di Ruko Kaliwungu Digerebek Polisi, Dugaan untuk Judi Online
Kemudian di salah satu ruangannya pada tanggal 17 Agustus 1945, jadi tempat pembacaan Proklamasi oleh Mr Wongsonegoro.
"Usai dibacakan, peserta rapat meneriakkan Merdeka, menyanyikan Indonesia Raya dan meneriakkan "Hidup Bung Karno, Hidup Bung Hatta, Hidup Indonesia", ungkap Johanes saat dihubungi Selasa 5 November 2024.
Lebih lanjut Johanes menjelaskan saat itu Mr Wongsonegoro sebagai Fuku Syuutjookan atau Wakil Residen Semarang yang sedang memimpin rapat Komite Persiapan Indonesia Merdeka.
"Pada waktu itu, gedung itu adalah Gedung Djawa Hokokai yang dijadikan Gedung Pertemuan Masyarakat Pribumi.
Dalam perkembangannya, bangunan menjadi salah satu kampus Untag di Jl Pemuda 70 Semarang," sambungnya.