Kemudian untuk jam bukanya, dimulai pada pukul 09.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Namun kalau Minggu tutup.
Tidak cuma menekankan keunggulan kopi, Adjie juga merombak desain kedainya dengan konsep vintage industrial. Dari membuka pintu sampai meja-meja untuk duduk semua menggunakan sentuhan vintage.
Adjie juga sempat menunjukan, beberapa interior yang dia gunakan adalah peninggalan kakek buyutnya. Misalnya saja lemari penyimpan kopi, adalah lemari berusia hampir 100 tahun dan dulu digunakan untuk toko obat. Tak hanya itu, ada mangkuk-mangkuk serta alat penumbuk obat yang masih dipajang di etelase.
"Ya namanya keturunan. Saya tak bisa benar-benar lepas dari toko obat. Lagipula, bagus kok lemarinya buat pajangan dan menambah kesan vintage," terangnya.
Kemudian naik ke lantai dua, di tempat smooking room, juga serba vintage. Adjie memajang berbagai mesin ketik lawas yang ternyata peninggalan kakeknya. Ada koper kuno dan foto-foto lama.
Baca Juga: Jelang Imlek, Pengrajin Barongsai di Semarang Alami Lonjakan Pesanan
Ketika terbuai dengan berbagai suasana vintage, pandangan akan teralih pada tangga yang menuju ke lantai tiga. Sebelum naik tangga itu ada peringatan untuk melepas sepatu maupun sandal. Mungkin orang kira akan ada kejutan vintage lainnya, tapi begitu didatangi ternyata ruangan kosong untuk senam.
"Memanfaatkan lahan untuk membuka usaha tentu saja," kata Adjie, yang lalu menyeringai dengan penuh aura bisnis.
Adjie mengungkapkan bahwa dirinya menikmati hidup seperti ini. Dia merasa hidup sesuai passion dan keputusannya untuk mendobrak tradisi keluarga ini tidak mendapat kecaman dari keluarga. Mereka rukun-rukun saja, dan saat ini sedang bersiap untuk menyambut perayaan Imlek.
"Saya tetap patuh pada tradisi keluarga kok. Sebagai peracik kopi ya, bukan peracik obat," katanya sambil terkekeh.