Falsafah Menulis

photo author
- Selasa, 8 Maret 2022 | 12:14 WIB
Usman Roin/Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro. (dok)
Usman Roin/Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI) Bojonegoro. (dok)

oleh: Usman Roin

AYOSEMARANG.COM -- Menulis dan ditulis. Itulah two in one kesimpulan yang akan didapatkan saat kita menjadi penulis. Dikatakan perbuatan menulis, karena aktifitas kita sedang menulis. Menutulkan jari di keyboard laptop, PC, gadget dan sebagainya. Menulis juga bisa diartikan menggoreskan pena di kertas hingga menghasilkan lembar demi lembar tulisan. Dan kemudian, jadilah penulis beneran berlabel kolumnis media cetak maupun online.

Setelah “menulis”, frase “ditulis” akanlah didapat. Ditulis, karena kita yang telah berprofesi sebagai penulis telah berkibra namanya. Mulai dari menjadi kolumnis, pegiatan literasi, dan sebagainya. Ketenaran yang diraih tersebut tentu memantik pewarta untuk menulis profil kita. Kemudian menjadi publik figure yang ditulis pada kolom inspirasi atas daya juangnya menjadi penulis amatiran bin pemula, profesional bin kolumnis, agar menggugah pembaca untuk melakukan hal yang sama.

Profesi penulis -yang istikamah menulis- dalam amatan penulis hari ini masihlah sedikit. Masih kalah dengan budaya oral (lisan), kata Andi Andrianto (2011:2). Penggambarannya menurut beliau, fenomena duduk-duduk hingga larut malam, bahkan dari malam menuju pagi, nongkrong menjadi prilaku yang betah dilakukan. Kenyataan itu berbanding terbalik bila kemudian diajak “nongkrong” menulis. Barang satu jam saja, perasaan ingin berhenti, tidak berminat, dan patah di tengah jalan sering ditemui.

Baca Juga: Pertahankan Bahasa Daerah, Balai Bahasa Jateng Kembangkan Kamus Digital Budaya Jawa

Perlu diketahui, era kekinian, sarana menulis sudah canggih. Gadget yang kita miliki sudah bisa dijadikan sarana menulis praktis, mudah, dan cepat. Beda dengan dahulu yang masih memakai mesin ketik manual, menulis tidak pernah padam.

Era dahulu (2000), saat penulis awal menjadi mahasiswa, untuk sekadar mengetik saja masih menggukan mesin ketik “brother”. Pita atau disebut ribbon cartridge, akan sering diganti bila usia pemakaian sudah lama. Apalagi saat membuat makalah, buku rujukan (referensi) akan dicari, ditumpuk, dan dibaca one by one terlebih dahulu. Baru kemudian, dituangkan dengan menekan huruf mesin ketik dari baris ke baris.

Zaman Now

Saat ini, kala mahasiswa membuat makalah (contoh), beda sekali. Di tengah sumber yang melimpah ruah, tetapi dari sisi daya baca sungguh-sungguh kurang greget. Membacanya by skip. Praktis tempel-tempel hasil copy-paste menjadi pemandangan umum yang terjadi. Pertanyaan penulis, majunya teknologi dan keberlimpahan sumber, kenapa daya juang menulis menurun?

Inilah urgensi kenapa tulisan ini penulis bikin. Agar jangan ada kesan, menulis sebagai “fenomena langit” yang berat dan sulit dilakukan. Jika hal itu muncul, kemalasan menulis akanlah terjadi. Bahkan yang dahulu sudah tersemat label “penulis”, karena terlalu lama nganggur tidak menulis, aktivitas menulisnya sulit untuk mulai kembali. Bahkan sekadar untuk menghasilkan karya tulis, beratnya minta ampun. Perasaan bingun mulai dari mana akanlah muncul. Padahal dengan kerja keras, tekun, sabar, serta fokus, merupakan password kita suka menulis dan kemudian menjadi pribadi produktif lahirkan karya tulis.

Baca Juga: Kolaborasi Mahasiswa Program Kampus Mengajar Jadi Ajang Tingkatkan Soft Skill

Tentang wujud pembiasaan menulis, sebagai pemantik agar terampil menulis, bisa dengan menulis catatan harian sebagaimana penulis lakukan. Justru dari catatan yang tidak penting -kata orang- aktifitas menulis itu maujud (terjadi). Menulis sendiri adalah kata kerja (verb). Yakni, kata yang menunjukkan perbuatan atau kegiatan yang sedang dilakukan oleh seseorang. Bila “menulis”kata kerja, artinya kita sedang melakukan aktivitas menulis. Jika menulis adalah kata kerja, tetapi seseorang yang berlabel “penulis” sepi melahirkan karya tulis, berarti label tersebut akan purna seiring dengan aktivitas menulis yang tidak pernah dilakukan.

Perlu diketahui, catatan harian yang ditulis itu ternyata memiliki manfaat yang dahsyat. Aktivitasnya membuat orang tidak lupa untuk mencatatkan hal-hal yang baru saja terjadi. Ia sadar, bahwa yang dilakukannya itu penting. Dan inilah modal dasar menulis, bahwa fakta terdekat adalah bahan yang mujarab untuk produktif menulis.

Selain itu, menuliskan catatan harian itu memiliki fungsi kesehatan. Kepenatan berbagai persoalan yang telah terjadi, dituangkan dalam bentuk tulisan. Fungsi itu seperti meletakkan beban pikiran. Tidak kita bawa kala duduk, berjalan, tidur, hingga bangun tidur. Jika tidak diletakkan dalam bentuk tuangan tulisan, beban tersebut masih terasa berat di kepala, walau secara kasat mata tidak terlihat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Akbar Hari Mukti

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Perlukah Outsourcing Dihapus?

Kamis, 8 Mei 2025 | 11:28 WIB
X