Pertahankan Tradisi Tahunan Jelang Ramadhan, Warga Kampung Bustaman Semarang Saling Perang Air

photo author
- Minggu, 3 Maret 2024 | 18:39 WIB
Tradisi Gebyuran Bustaman yang selalu digelar oleh Kampung Bustaman Semarang jelang Bulan Ramadhan.  (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)
Tradisi Gebyuran Bustaman yang selalu digelar oleh Kampung Bustaman Semarang jelang Bulan Ramadhan. (Ayosemarang.com/ Audrian Firhannusa)

Misalnya saat hendak masuk kampung semua peserta, baik warga kampung maupun masyarakat umum mukanya bakal dicoreti.

"Coretan itu perlambang dosa. Perwujudan dari diri kita yang sudah cukup banyak tercoreng," ungkapnya.

Kemudian setelah dicoret-coret, akan ada prosesi siraman anak-anak kampung. Siraman ini sebagai simbol asak muasal tradisi gebyuran bermula yang dilakukan oleb Kyai Bustam.

Setelah selesai simbolis gebyuran anak-anak, lalu semua orang saling melempar air.

Baca Juga: Warga Pecinan Semarang Gelar Tuk Panjang, Tradisi Makan Bersama di Meja Besar dengan Beragam Etnis

"Setelah itu ada ritual gebyuran. Gunanya implementasi dari bersih dosa. Menjelamg puasa. Dosanya lebur," paparnya.

Warga saling melempar bungkusan air yang berwana-warni. Bungkusan-bungkusan ini juga sebelumnya sudah disiapkan dengan diberi pewarna.

Sepanjang prosesi, semua orang yang berada di kampung itu basah kuyup. Tidak tua dan muda, semua hanyut dalam serunya gebyuran Bustaman.

Usai acara, peserta secara bersama-sama makan Gule Bustaman sebagai hidangan khas di Kampung Bustaman yang terkenal juga sebagai kampung jagal kambing.

Baca Juga: Peran Vital Kepala Desa dalam Pengembangan Desa: Ketahui Tugas, Tanggung Jawab, Hak, dan Kewajibannya

Hari pun sedikit bercerita jika kampungnya punya sejarah panjang. Kampung yang berada di Jalan MT Haryono itu adalah hadiah dari Belanda pada 1740 kepada Kyau Bustam.

Setelah diberi, Kyai Bustam membuat sumur pada 1742. Kemudian setelah sumur jadi, Kyai Bustam sering memandikan cucu-cucunya secara sakral menjelang bulan puasa.

"Dari sumur itu Kyai Bustam nggebyuri cucu-cucunya menjelang bulan puasa. Di situ dipertahankan sampai sekarang. Usia gebyuran ini sudah 300 tahun lebih tapi kami hidupkan lagi mulai 2013. Ini yang ke-14. Jatuh hari minggu sebelum puasa," paparnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Regi Yanuar Widhia Dinnata

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X