Selain itu nelayan Tambakrejo yang juga tokoh kampung, Rochmadi juga mengungkapkan hal serupa. Ia pun selama ini berupaya berjuang melepaskan dari ancaman perampasan laut dan perampasan tanah.
"Kami sejauh ini sudah berjuang meskipun tidak pernah maksimal," tambahnya.
Sementara dari Parid Ridwanudin, Manajer Kampanye Pesisir dan Pulau Kecil WALHI Nasional, menganggap masyarakat pesisir akan terus berhadapan dengan ancaman kolonialisme baru.
Baca Juga: 2 Temuan Baru Kasus Kematian Dokter PPDS Undip, Begini Hasil Penyelidikan Polisi
"Ancaman tersebut berupa reorganisasi ruang yang melayani kepentingan modal dan investor dengan mengabaikan masyarakat kelas bawah," paparnya saat ditemui di hari yang sama.
Lebih lanjut Parid menuturkan agenda integrasi tata ruang darat dan laut dapat dilihat sebagai instrumen penting melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat, baik di darat maupun di laut.
Misalnya dalam kajian WALHI mengenai tata ruang laut, menyebutkan bahwa dalam 28 Peraturan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau kecil (RZWP3K) alokasi pemukiman nelayan jauh lebih kecil dengan luasan proyek reklamasi sekaligus dengan tambang pasir laut.
Kemudian misalnkan pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 1.256,90 hektare, maka luasan reklamasi dengan tambang pasir laut tercatat seluas 3.590.883,22 hektare.
"Sungguh suram masa depan nelayan dan masyarakat pesisir di Indonesia yang sering disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ini," kritiknya.