SEMARANGTENGAH, AYOSEMARANG.COM -- Sebagai bagian dari bahasa Jawa, dialek semarangan sesungguhnya juga mengenal unggah-ungguhing basa.
Namun penerapannya di dalam dialek semarangan tidak seketat dialek Solo atau Yogyakarta yang menjadi acuan kaidah bahwa Jawa standar.
Hal tersebut disampaikan Hartono Samidjan, peneliti bahasa Kota Semarang dan penulis buku Halah Pokokmen Kupas Tuntas Dialek Semarangan.
Baca Juga: Berebut Lahan Parkir di Semarang, Pria Ini Tikam Bapak dan Anak hingga Kritis
Menurutnya, "kesalahan" paling dominan dari bahasa semarangan dalam berbahasa Jawa adalah mbasakke awake dhewe (menggunakan kata krama inggil untuk diri sendiri).
"Contohnya, nyuwun pamit, kulo badhe kondur (Mohon pamit, saya mau pulang)," tulis Hartono dalam bukunya.
Dalam kaidah berbahasa Jawa, lanjut Hartono, kata kondur (pulang) tidak pantas dipakai oleh orang pertama, sekalipun sang penutur adalah orang yang lebih tua atau lebih dihormati.
Baca Juga: Kasus Ibu Gorok Anak di Brebes, Polisi Dalami Kondisi Kejiwaan Tersangka
Yang lebih tepat, kata kondur diganti wangsul. Demikian pula dhahar (makan), pinarak (duduk), atau sare (tidur).
Kesimpulannya, bahwa wong Semarang ora isa basa tidak salah jika dilihat dari konteks kaidah bahasa Jawa standar.
Namun jika dilihat dari kacamata dialek semarangan, kebiasaan orang Semarang untuk "mbasakke awake dhewe" bukan hal yang keliru.
Baca Juga: Rating A Business Proposal Turun Hari Ini, Cek Daftar Rating Drakor Lainnya
"Sebab pemilihan ragam bahasa itu berdasar kesepakatan para penutur dan sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek di luar kebahasaan," katanya.