BATANG, AYOSEMARANG.COM -- Saat sidang pemeriksaan terdakwa kasus pidana tagihan fiktif Pelabuhan Khusus PLTU Batang, Rosi Yunita, terus menangis saat di cecar pertanyaan oleh Jaksa Penuntut umum (JPU) dan Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kota Pekalongan.
Karena tidak bisa menjawab dengan jelas saat, sidang pidana kasus pidana tagihan fiktif Pelabuhan Khusus PLTU Batang yang dipimpin Ketua Majelis hakim Mukhtari dengan hakim anggota Hilarius Grahita, Budi Setyawan, sempakat menghentikan sejeak (skorsing) jalan sidang selama 30 menit.
Tangisan terdakwa kasus pidana tagihan fiktif Pelabuhan Khusus PLTU Batang, karena Rosi Yunita merasa dikorbankan oleh mantan atasannya di PT Aquila Transindo Utama (ATU).
Baca Juga: Kasus Dugaan Tagihan Fiktif di Pelabuhan PLTU Batang, Kuasa Hukum PT ATU: Hanya Masalah Sakit Hati PT SPA
Dalam sidang, Rosi mengaku hanya disuruh. Ia pun akhirnya blak-blakan menyebut peran tiga saksi yang dalam sidang sebelumnya hadir.
Tiga nama yang disebut dalam persidangan adalah Kapten Pandu Agus Pujo Utomo, Supervisor Ahmad Zaenuri, dan Direktur PT Aquila Transindo Utama M Rondhi.
"Saya hanya disuruh atas nama Agus Pudjo," kata Rosi sembari terisak menjawab pertanyaan majelis hakim, Kamis 3 November 2022 sore.
Ia menyebut nama kapten pandu itu saat dicecar hakim serta jaksa penuntut umum (JPU) tentang permintaan blangko kosong yang ditandatangani beserta cap pada staf PT Sparta Putra Adhyaksa (SPA) melalui chat. Staf PT SPA yang dimintai adalah Syaiful Niko yang juga pernah hadir sebagai saksi.
Baca Juga: Polres Pekalongan Kota Dituding Tak Profesional Urus Kasus Pelabuhan PLTU Batang
Rosi juga mengungkapkan bahwa yang memerintah adalah Kapten Pandu Agus Pudjo. Setelah mendapatkan itu, ia serahkan pada Agus Pudjo.
Kemudian, ia kembali disuruh membuat surat keterangan pandu sebagai dasar pembuatan pra nota. Pra nota itu sebagai dasar terbitnya invoice.
"Ngeprintnya di kantor. Printernya di meja Supervisor. Di situ bertiga. Saya, Agus Pujo, dan Pak Ahmad (supervisor). Tahu semua," jelasnya.
Terkait penerbitan invoice jasa pandu dan tunda, hal itu merupakan kewenangan finance atau keuangan. Ia tidak tahu sama sekali.
Baca Juga: Kasus Tagihan Fiktif Pelayanan Pelabuhan PLTU, Dua Kuasa Hukum Saling Bantah Bukti
Rosi juga mengatakan hanya mengerjakan perintah. Untuk jobdesk atau aturan kerja selama bekerja di PT ATU, ia mengaku sejak masuk kerja tidak pernah diberi tahu. Selama kerja, ia hanya bekerja sesuai perintah atasannya.
Hingga akhirnya ada laporan ke Polres Pekalongan Kota, Rosi merasa syok. Saat itu, ia mendapat tekanan dari pimpinannya agar tidak menyebut nama kapten Agus Pujo dan Ahmad Zaenuri.
"Saya dipaksa untuk bilang seperti itu, dipaksa pak Rondhi direktur. Sebelum BAP Pertama," tutur Rosi di depan majelis hakim.
Ia bahkan dijanjikan mendapat pendampingan, tapi tidak ada. Bahkan ada utusan PT ATU yang datang ke Rutan untuk memaksanya mengaku bahwa perbuatan itu dilakukan sendiri.
Baca Juga: Rosi Yuanita Staf Pengelola Pelabuhan PLTU Batang Resmi Menyandang Terdakwa Kasus Tagihan Fiktif
Hingga akhirnya, Rosi sadar dikorbankan dan membuat pernyataan tambahan dalam BAP. Ia mengungkapkan bahwa mengalami tekanan pada BAP pertama.
"Setelah jadi tersangka saya baru cerita ke orangtua. Saya baru sadar kalau dipakake (dikorbankan)," ucapnya sambil menangis.
Ketiga hakim itu menyesalkan pernyataan Rosi yang baru diungkapkan saat pemeriksaan terdakwa. Seharusnya, pernyataan itu dibuka saat ketiga nama yang disebut Rosi menjadi saksi.
"Mengapa kemarin tidak ngomong? Jujur, ada apa dengan kamu? Sekarang, di sini tidak ada orangnya," kata Hakim Hilarius Grahita.
Rosi hanya menjawab lupa sambil menangis. Hingga menyebut bahwa 95 persen yang bekerja di PT ATU merupakan seniornya.