Di Balik Ego dan Kolektivitas Etnis

- Kamis, 7 Juli 2022 | 11:08 WIB
Antoni M Laot Kian, Dosen Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Staf Ahli DPD RI (Dok Pribadi)
Antoni M Laot Kian, Dosen Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Staf Ahli DPD RI (Dok Pribadi)

AYOSEMARANG.COM -Babarsari, Seturan, bukan tiba-tiba menjadi terkenal begitu saja. Julukan Gotham City yang mengikutinya bukan pula tanpa alasan. Daerah yang relatif nyaman itu kini semakin sering berlumuran darah. Fakta itu tidak dapat dibantah, ketika pertarungan terjadi lagi pada awal bulan ini. Hal ini semakin diperparah dengan lambannya respon penegak hukum dalam menangani kasus-kasus terkait. Salah siapa?

Memori 2013 masih terngiang, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X bertutur sedih, bahwasanya konflik antaretnis telah mengusik suasana damai di Yogyakarta. Sri Sultan akhirnya meminta perhatian Bupati/Walikota untuk mengawasi keberadaan asrama-asrama berlatar etnik, karena dapat menjadi pemicu lahirnya egoisme kedaerahan yang berujung konflik sosial horizontal.

Egoisme Negatif Etnis

Egoisme negatif etnis, seperti mengulangi karakter no maden manusia, yang seharusnya sudah lama ditinggalkan. Perilaku barbar seumpama membuka lagi lembaran Teori Fisiognomi Cessare Lombrosso, yang menegaskan linearitas antara struktur biologis-fisik manusia dengan perilaku jahatnya. Apakah manusia bergenetika kriminal? Tentu tidak, karena Fisiognomi Lombrosso itu sudah usang.

Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain PSIS Semarang vs Arema FC, Main Hari Ini 15.30 WIB

Dalam perspektif yang lebih luas dari budaya timur, manusia setidaknya dilahirkan dari kasih sayang ama lera wulan dan ina tanah ekan (Tuhan matahari bulan dan ibu bumi). Tapi di manakah kasih sayang itu? Tidak ada kebanggaan paling hebat selain kebanggaan manusia untuk membangun komunitasnya dengan kasih sayang. Egoisme etnis yang seharusnya positif secara etis ini, rupanya kalah pada dirinya sendiri karena ada kejahatan kekerasan kolektif.

Kejahatan Kekerasan Kolektif
Dalam perspektif kriminologi Clinard dan Quinney (2007), kejahatan kekerasan kolektif merupakan bagian dari crime violence. Crime violence menempatkan karakter agresif sebagai main course-nya. Lebih jauh lagi, perilaku agresif itu semakin mendapatkan wadahnya ketika ada echo chambers tentang egoisme etnis yang digemakan secara berulang dalam situasi kolektif.

DI sinilah psikologi massa muncul. Penciptaan mobile vulgus, berupa kumpulan massa yang mudah digerakkan, yang tidak sadar akan “kesadarannya sendiri”, mengiringi pertarungan jalanan antaretnis. Perilaku jahat pun menjadi sempurna: egoisme etnis bergerak dalam kutub mobile vulgus untuk melakukan kejahatan kekerasan kolektif. Lantas siapa yang bertanggungjawab?

Tanggungjawab Kolektif

Mengurai kejahatan kekerasan kolektif bukanlah persoalan sederhana. Ada berbagai faktor kompleks yang ikut bermain: imitasi, patronisme, kohesivitas etnis, pun perasaan inferior. Kolektivitas etnis dalam perspektif timur sejatinya adalah tobo hama-hama taan gelekat lewo (duduk bersama membangun kampung halaman). Itu berarti baik sebagai pendatang maupun masyarakat setempat, kebersamaan seharusnya menjadi tanggungjawab kolektif untuk membangun daerah, in casu Yogyakarta.

Citra Yogyakarta tidak boleh dinodai, pun pula citra kebersamaan etnis seharusnya kembali ke dasarnya. Patronisme para tetua etnis harus selalu mengevaluasi hal ini. Di saat yang sama, setiap Pemerintah Daerah Provinsi dari luar Yogyakarta harus mampu mengawasi putra-putri daerahnya.

Baca Juga: Sering Minum Teh Setelah Makan? Ketahui Efeknya untuk Kesehatan Tubuh

Dalam koridor di atas, maka manusia akan terlihat hebat di tanah rantau, bukan karena fisiognomi-nya, melainkan karena kualitas pribadinya yang berintegritas menjaga marwah di mana langit dipijak, di situ bumi dijunjung. Berabad-abad yang lalu, peradaban Romawi selalu mengulangi adagium ini, ut ameris amabilis esto, ramahlah agar kau dicintai.

Tanggungjawab kolektif menjaga perdamaian itu sesungguhnya dimulai dari bertutur, bersikap, dan bertindak ramah. Dalam perspektif filsafat moral, kewajiban manusia ialah memperlakukan secara positif orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri. ***

Halaman:

Editor: arri widiarto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Stop Wabah, Jangan Nyampah

Kamis, 16 Februari 2023 | 17:29 WIB

Penjelasan Tentang Aneurisma Abdomen Aorta

Rabu, 1 Februari 2023 | 17:56 WIB

Pernah Pernik di Balik Kegiatan Kampanye

Rabu, 21 Desember 2022 | 10:43 WIB

Lomba Justifikasi

Kamis, 15 September 2022 | 07:46 WIB

Pemilik Frequensi dan Pelengkap Penderita

Sabtu, 30 Juli 2022 | 14:38 WIB

Di Balik Ego dan Kolektivitas Etnis

Kamis, 7 Juli 2022 | 11:08 WIB

Mudik, Thomas Cup, dan Sea Games

Senin, 16 Mei 2022 | 19:23 WIB
X