Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah-mentah pesan orang tua itu.
Di sini Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu. "Wid, kancamu cah lanang iku, gak popo tah (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah)?"
"Maksud'e mas?"
"Cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi (temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam)?"
"Ra paham aku mas (gak ngerti aku mas)."
"Trus," kata Wahyu, "aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar (aku sering denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)."
"Ra mungkin tah mas (gak mungkinlah mas)."
"Sumpah!! Gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-ngguyu dewe, stress palingan (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)."
"Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh (Bima itu religius, gak mungkin aneh-aneh)."
"Yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. Gendeng cah iku. (ya sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak)."
Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal.
Malam semua anak sudah berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.
Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan Pak Prabu.
Sebelum suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon (dapur) untuk mencapai pawon, Widya melewati kamar, di sana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya semakin terdengar dengan jelas.
Pawon rumah ini hanya ditutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.