"Adoh gak (jauh gak)?"
"2 jam," kata Wahyu.
"Aku wes ijin Pak Prabu, oleh nyilih motor'e (aku sudah ijin Pak Prabu, boleh pinjem motornya)."
"Nggih pon, melu (ya sudah, ikut)."
Wahyu melihat jam di tangannya, pukul 11 lewat, ia harus cepat menyelesaikan urusannya di kota. Karena sesaat sebelum meminta ijin, Pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum hari petang.
Saat Wahyu menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang gampang ditelusuri untuk masuk ke hutan ini.
Dengan wajah tidak tertebak, Pak Prabu mengatakan, "gak onok sing ngerti opo sing onok gok jero'ne alas le (tidak ada yang pernah tau apa yang tinggal di dalam hutan nak)."
Mereka berangkat menembus jalan setapak. Lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, sangat jauh. Sampai akhirnya mereka tiba di kota B. Di sana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.
Kurang lebih setelah 2 jam mencari ke sana ke mari dan setelah mendapatkannya, mereka langsung cepat kembali.
Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin full, etika ketika meminjam barang orang lain.
Jam sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore. Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia berhenti tepat di samping penjual cilok. Ketika Wahyu sampai di sana, ia membeli beberapa cilok untuk Widya dan dirinya sendiri. Saat itulah, si penjual cilok melihatnya seperti ingin menyampaikan sesuatu.
"Masnya pendatang?" kata orang itu.
"Mboten Pak, kulo KKN ten mriki (tidak pak, saya hanya KKN di sini)."
"Tetep ae, wong joboh to (tetap saja, orang luar, kan)," kata si penjual, masih melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"Nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN di mana?"