Pada saat penyelenggaraan lomba tersebut sang Sultan memperkenalkan sebuah tembang jawa, yang diilhami dari suara atau manggungnya perkutut, sehingga tembang tersebut dikenal dengan, "Kutut Manggung".
Tembang kutut manggung ini masih bisa dinikmati hingga saat ini, biasanya diperdengarkan pada acara-acara suka cita.
Tradisi perlombaan perkutut di kesultanan Jogja ini dilanjutkan oleh sultan berikutnya, namun hingga era sultan Hamengku Buwono VIII peserta lomba masih di kalangan bangsawan saja.
Barulah di era sultan IX perlombaan ini dibuka untuk umum. hal yang bisa diambil dari sini adalah pentingnya saling menyayangi walau dengan hewan sekalipun.***