SEMARARANG, AYOSEMARANG.COM - Sehari sebelum Syawalan, Saputro Wicaksono sibuk mengkaitkan sebuah tali kecil ke ketupat dan lepet. Dia lalu menggantungnya di paku yang ada di atas pintu.
"Mau buat apa pak kok digantung di situ?" Tanya Widy, anak perempuannya.
"Ini untuk menyambut anak-anak," jawab Saputro.
"Anak-anak yang mana? Kan keluarga kita nggak ada anak-anak," timpal Widy.
"Arwah anak-anak."
Pertanyaan Widy ke bapaknya itu dia katakan belasan tahun yang lalu ketika dia masih belia. Tahun-tahun berganti dan sampai saat ini tradisi itu masih dijalankan.
Baca Juga: 7 Prospek Kerja Lulusan SMK Analisis Kimia, Jurusan yang Ternyata Diperebutkan Industri
Widy adalah warga asli Grobogan. Rumahnya di Desa rowosari Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Warga desa Widy merayakan lebaran dua kali; lebaran Idulfitri dan lebaran syawal atau lebaran ketupat.
Lebaran ketupat bisa dibilang cukup spesial karena di momen ini warga banyak menyajikan hidangan masakan enak seperti lodeh, opor, atau rendang untuk mendampingi ketupat atau lepet.
Lepet sendiri adalah makanan yang dibuat dari ketan dan kelapa parut serta diberi garam, dibungkus dengan daun kelapa muda, berbentuk silinder dan direbus.
Tradisi Lebaran Ketupat dilakukan pada hari ke-8 di bulan Syawal. Tradisi ini menandakan sudah dilakukannya puasa sunnah enam hari pertama di bulan Syawal.
Berdasarkan informasi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Lebaran Ketupat sudah diperkenalkan sejak masa Kesultanan Demak pada abad ke-16 M. Sejak saat itu, tradisi Lebaran Ketupat masih dijalankan hingga saat ini.
Baca Juga: Makna Lain Lebaran Ketupat di Semarang, Persembahan untuk Orang Meninggal Terutama Arwah Anak-Anak
Dulu Lebaran Ketupat menjadi salah satu cara dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa dan berkaitan erat dengan Walisongo salah satu Walisongo yakni Sunan Kalijaga.