SEMARANG SELATAN, AYOSEMARANG.COM -- Bahasa bersifat dinamis. Instrumen komunikasi masyarakat ini bisa saja berubah sesuai di mana lokasinya berada dan situasi yang sedang dihadapi, termasuk dalam hal ini adalah Bahasa Jawa yang digunakan di Kota Semarang.
Hal itu juga diamini sekaligus juga dikaji oleh Hartono Samidjan, peneliti bahasa Kota Semarang dalam buku Halah Pokokmen.
Bedasarkan penelitiannya, Bahasa Jawa itu memiliki 2 prinsip utama yang dipegang teguh.
Baca Juga: (SEMARANGAN) Makam Ereveld Part 2: Luas, Asri dan Penuh Pepohonan, Tempat ini Boleh Dikunjungi
Yakni unggah-ungguhing basa (tingkat tutur) dan paramasastra (cara menyusun kata-kata dalam sebuah kalimat agar menjadi bahasa yang baik dan indah).
"Secara umum tingkat tutur dibagi tiga, yakni krama inggil, krama madya, dan ngoko," tulisnya.
Ada 2 aspek penting tadi akan terus bertahan selama Bahasa Jawa berada di Surakarta dan Yogyakarta, sebab di 2 kota itu diakui sebagai pusat kebudayaan Jawa karena terdapat lingkungan keraton.
Semakin jauh dari pusat kebudayaan, bahasa akan semakin bergeser.
Faktornya tentu ada banyak, terutama kegencaran pengaruh budaya asing yang dibawa oleh kaum pendatang.
Fenomena ini terjadi di kawasan pesisir Jawa termasuk Kota Semarang.
Di Surakarta dan Yogyakarta, tindak tutur bahasa, juga dipengaruhi oleh status sosial.
Misalnya dengan orang yang begitu tua atau memiliki kedudukan tinggi, harus menggunakan bahasa yang sopan atau krama inggil.
"Namun di Kota Semarang, hal itu tidak begitu tampak," imbuhnya.
Baca Juga: (KAMUS SEMARANGAN) Kata Sirahipun, Tanganipun, Sikilipun Lebih Kerap Dipakai untuk Berkrama Inggil