SEMARANGTENGAH, AYOSEMARANG.COM -- Gaya dialek semarangan yang lugas dengan nada keras, hingga nyaris membentak, sering menimbulkan kesan kayak "yak-yako".
Artinya, mengesankan sebagai orang yang paling mampu melakukan atau mengetahui semua topik dalam peristiwa tertentu.
Terkait dialek semarangan tersebut disampaikan Hartono Samidjan, peneliti bahasa Kota Semarang dalam bukunya Halah Pokokmen, Kupas Tuntas Bahasa Semarangan.
Menurutnya, hal tersebut karena adanya frasa-frasa tertentu yang dipakai sebagai penekanan kalimat tuturan di dialek semarangan.
"Frasa-frasa ini antara lain he-eh rak?, Ya rak?, Koe Reti rak?, Ngarahku," tulisnya.
Baca Juga: (SEMARANGAN) Tradisi di Masjid Layur Part 2: Kopi Arab yang Melegenda Hadir di Setiap Bulan Ramadhan
Hartono menambahkan, anda boleh mendukung pernyataan lawan tutur dengan berujar "kandani ok!", "He-eh ta!", "Ngono to!", atau membantah dengan seruan, "ya rak ta!" atau "Ndak Iyo?".
Namun usahakan jangan sampai pernyataan anda menimbulkan kesan ngepal atau ngilani lawan tutur anda.
"Ngepal berarti meremehkan kemampuan lawan tutur anda. Sedangkan ngilani memiliki makna anda secara langsung menganggap kemampuan atau pengetahuan lawan tutur lebih rendah daripada Anda. Hal semacam ini perlu dihindari. Sebab menghormati lawan tutur adalah salah satu cara menjaga kelancaran komunikasi," imbuhnya.
Adapun dialek semarangan, lanjutnya, juga cenderung menyederhanakan unggah-ungguhing basa.
Meskipun mayoritas penutur memahami Krama Inggil, mereka hanya mampu merangkai kalimat tuturan hingga Krama Madya.
"Namun dialek semarangan tetap menaati prinsip dasar tutur, yakni bersikap hormat dan memilih kata-kata yang lebih halus saat berbicara pada lawan tutur yang lebih tua," katanya.
Orang tua kandung dan atasan otomatis menduduki tingkat tutur tertinggi. Demikian pula orang yang lebih tua, apa pun latar belakanganya juga menduduki tingkat tutur tertinggi.