Penduduk di Kampung Basahan banyak yang meninggalkan area tersebut secara permanen oleh pembangunan kota yang ada.
Saat ini, di Kampung Basahan hanya tersisa 3 rumah dan yang benar-benar ditinggali hanya 1 rumah.
Selain itu, ada 1 orang yang meskipun sebetulnya keluarganya sudah boyongan pindah, namun dia tetap nyaman tinggal di Kampung Basahan.
Baca Juga: (KAMUS SEMARANGAN) Beberapa Hal Pengaruhi Dialek Semarangan, Salah Satunya Budaya Asing
Dia bernama Sugiarto, atau yang lebih akrab disapa Baito (74).
Saat ditemui, Baito berkata jika dia sudah sejak lahir tinggal di kampung itu.
Pasca rumahnya dibeli, Baito sebetulnya sudah punya rumah.
Namun karena pekerjaannya sebagai pemulung di tengah kota, dia memilih tetap tinggal di situ.
Baito tentu saja tidak tidur di sebuah rumah. Namun di dalam sebuah gerobak bekas yang kapan saja bisa ambruk.
"Daripada pulang ke Mangkang boros di ongkos dan tenaga," ungkapnya.
Baito juga saksi hidup Kampung Basahan selain Agus tadi.
Dia lebih banyak tahu bagaimana asal-usul kampung ini karena termasuk generasi pertama.
"Kenapa kampung ini disebut Basahan, karena dulu sempat jadi tempat tinggal Sentot Ali Basah yang merupakan Panglima Pangeran Diponegoro. Itu kalau cerita mbah saya" katanya.
Baca Juga: (KAMUS SEMARANGAN) Penyingkatan Kata di Dialek Semarangan, Wes Tanggal Tuo, Wayahe Rak Ndue Det
Namun jika dihubungkan, Basahan memang sarat sejarah karena kampung di seberangnya yakni Sekayu juga punya hal yang sama.